dddd

Minggu, 04 Maret 2012

Memaknai Salam

Seorang anak kelas 1 SD berkata pada ibunya, “Ummi, sekarang aku tahu mengapa kita harus mengucapkan salam dan bersalaman sebelum pergi dari rumah.”
“Oya, mengapa memangnya?” sang ibu penasaran.
“Karena waktu pergi dari rumah, kita tidak pernah tahu apakah kita akan selamat kembali ke rumah. Jadi waktu bersalaman kita harus benar-benar mendoakan dan saling memaafkan,” kata sang anak perempuan tersebut dengan ekspresi serius.
Si ibu tersebut tersentak karena ternyata anaknya yang baru berusia tujuh tahun telah memahami makna dari ucapan salam. Karena salam sudah menjadi hal yang rutin dan biasa, seringkali tak disadari lagi maknanya dan mengucapkannya pun dengan sambil lalu.
Seperti yang disampaikan anak tersebut, tidak ada yang menjamin bahwa seseorang yang melangkah dalam keadaan selamat kembali ke rumah. Mungkin kecelakaan di jalan bisa saja mengakhiri hidupnya, atau sakit tiba-tiba pun bisa mengancam jiwanya.
Mengucapkan salam selain dilakukan saat bertemu dan berpisah secara fisik, juga saat berbicara jarak jauh yaitu menggunakan pesawat telepon. Namun saat mengucapkan salam lewat telepon pun seringkali karena spontanitas, tidak benar-benar sambil mendoakannya.
Ada seorang ibu yang jika menelepon anak remajanya bahkan tidak mengucapkan salam sama sekali. Kalimat pertama yang diucapkannya, “Putri dimana?” Karena selalu kalimat itu yang diucapkan sang ibu saat meneleponnya, maka anak gadis tersebut menyimpan nama ibunya di telepon selulernya bukan dengan nama sang ibu tapi dengan tulisan “PUTRI DIMANA”.
Pertanyaan “Putri Dimana?” dengan nada cemas ternyata dirasakan tidak nyaman oleh anak gadis tersebut. Ia merasa seolah ibunya tidak mempercayainya. Ucapan salam dengan doa sepenuh hati tentu jauh lebih baik dibanding pertanyaan dengan nada mencurigai.
Pentingnya mengucapkan salam banyak dimuat dalam Hadist. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Salam adalah salah satu Asma Allah yang telah Allah turunkan ke bumi, maka tebarkanlah salam. Ketika seseorang memberi salam kepada yang lain, derajatnya ditinggikan dihadapan Allah.”
Salam meskipun terkesan sederhana, namun merupakan amalan yang memiliki keutamaan. Rasulullah bahkan menyebutnya sebagai perbuatan baik yang paling utama di antara perbuatan-perbuatan baik yang kita kerjakan. Sayang, jika dalam pelaksanaannya kurang dihayati.
Sebelum Islam datang, orang Arab biasa menggunakan ungkapan “Hayakallah” yang artinya ‘semoga Allah menjagamu tetap hidup.’ Namun kemudian Islam memperkenalkan ungkapan “Assalamu ‘alaikum” yang bisa artinya “semoga kamu terselamatkan dari segala duka, kesulitan, dan nestapa.” Islam tidak hanya menyarankan ucapan salam yang mendoakan ‘untuk tetap hidup’, tetapi salam yang mendoakan ‘agar hidup dengan penuh kebaikan’.
Sebagaimana diucapkan oleh anak di atas, saat para suami, istri, anak berpisah di pagi hari belum tentu mereka akan bertemu lagi. Jika menyadari hal itu, tentu saat salaman mereka akan melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan doa yang khusyu’ dan tulus. Dengan demikian saat sore hari mereka berkumpul kembali, ucapan salam akan diucapkan dengan penuh kesyukuran karena ternyata Allah masih memberi mereka kesempatan untuk bertemu lagi dalam keadaan sehat wal afiat.
Semoga kita senantiasa mengucapkan salam dengan sepenuh hati, yang dengan salam tersebut makin mendekatkan hubungan antara anggota keluarga dan makin menumbuhkan kasih sayang.* Ida S. Widayanti, penulis buku.SUARA HIDAYATULLAH, JUNI 2011

Jumat, 24 Februari 2012

Bergaul dengan nOn Muslim


Bergaul dengan non Musl;im
Hidup di tengah-tengah masyarakat kita tak bisa menghindari bergaul dengan orang-orang yang tidak seiman dengan kita. Islam tidak melarang umatnya bergaul dengan mereka.
Hanya saja, dalam pergaulan dengan non-Muslim, Islam telah memberikan adab-adabnya, antara lain sebagai berikut:
Pertama, memberi kesempatan kepada orang-orang kafir untuk mendengar kalamullah. Bisa jadi, mereka tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena belum pernah mendengar firman Allah. Allah berfirman:
“Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah. Kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (At-Taubah [9]: 6)
Kedua, karena orang-orang kafir tidak beriman dan menyekutukan Allah dengan sesuatu, hati orang Muslim harus membenci mereka. Namun kebencian hati bukan berarti bersikap zalim. Islam melarang umatnya menganiaya, curang, mencuri harta, serta mengkhianati amanah mereka.
“……dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)”. (Asy-Syuraa [42]:15).
Adapun bagi kaum kafir yang memerangi dan mengeluarkan umat Islam dari negerinya, darah mereka halal.
Ketiga, Seorang Muslim boleh berbuat baik kepada non-Muslim dalam suasana damai dengan membantu finansial, memberi makan, memberi pinjaman, menolong mereka dalam perkara-perkara yang mubah, serta berlemah-lembut dalam tutur kata.
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah [60]: 8)
Keempat, berlaku adil dalam memutuskan hukum antara orang kafir dan kaum Muslimin, jika mereka berada di tengah-tengah penerapan hukum Islam.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Maidah [5]: 8)
Kelima, Kaum muslimin harus meyakini bahwa ada perbedaan antara Muslim dengan non-Muslim dalam beberapa ketentuan hukum, seperti diyat (ganti rugi untuk pihak keluarga terbunuh, bila si pembunuh tidak diqishah), warisan, pernikahan, perwalian dalam nikah, masuk kota Makkah dan lain-lain. Kesemuanya itu didasari oleh perintah-perintah dari Allah dan Rasul-Nya, sehingga tidak mungkin disamaratakan antara orang yang beriman dengan yang kafir kepada Allah.
Keenam, wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir, dengan jawaban “Wa ‘alaikum.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah: Wa ‘alaikum.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.” (Riwayat Tirmidzi dan Ahmad)
Demikianlah beberapa adab yang harus dipegang teguh oleh kaum Muslimin dalam hubungannya dengan orang-orang non-Muslim.* Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah, JUNI 2011